Melepas Belenggu – Sistem pendidikan kita sedang terlena dalam zona nyaman yang mematikan. Terlalu lama sekolah di pandang sebagai institusi kaku yang lebih mementingkan hafalan ketimbang pemahaman. Para siswa di cekoki teori, rumus, dan definisi yang hanya untuk lulus ujian. Tidak ada ruang eksplorasi. Tidak ada tantangan untuk berpikir kritis. Yang ada hanyalah rutinitas menjemukan yang berujung pada angka di atas kertas.
Mirisnya, guru pun terjebak dalam sistem yang sama. Mereka di paksa tunduk pada kurikulum yang menumpuk, target administrasi yang absurd, serta penilaian kinerja yang lebih mengutamakan laporan daripada dampak nyata terhadap peserta didik. Bukankah ini bentuk pembunuhan perlahan terhadap semangat belajar?
Budaya Rangking: Merayakan Kemenangan Semu
Di Indonesia, nilai tinggi dan rangking menjadi tolak ukur keberhasilan. Sistem ini menciptakan ilusi bahwa anak-anak yang mendapat nilai tertinggi adalah yang paling pintar, paling layak sukses. Padahal, realitasnya tidak sesederhana itu. Nilai bisa di manipulasi. Kecerdasan tak selalu sejalan dengan angka. Ada kecerdasan emosional, sosial, kreatif, dan praktikal yang sama pentingnya.
Namun sistem tak memberi ruang bagi bentuk kecerdasan lain untuk berkembang. Anak yang jago menggambar, menulis, atau bermain musik dianggap tak cukup “berprestasi” jika nilai matematikanya jeblok. Sistem pendidikan kita seolah hanya mencetak robot seragam yang dipaksa melalui satu pintu sempit: lulus ujian nasional, masuk universitas negeri, lalu kerja kantoran. Lalu kalau gagal? Dicap sebagai anak yang “tidak berhasil.”
Guru Ingin Inovatif, Tapi Tercekik Aturan
Jangan salah, banyak guru ingin berubah. Mereka sadar metode ceramah satu arah dan latihan soal tak lagi relevan. Tapi sistem mengekang. Ketika seorang guru ingin menerapkan pendekatan tematik, diskusi interaktif, atau pembelajaran berbasis proyek, mereka di benturkan dengan tuntutan administrasi yang padat. Silabus harus terpenuhi, nilai harus masuk tepat waktu, laporan supervisi harus rapi. Kreativitas guru jadi korban pertama dari sistem yang terlalu birokratis.
Belum lagi tekanan dari orang tua murid yang hanya ingin anaknya dapat nilai bagus, bukan pemahaman. Guru yang mencoba mengutamakan proses di banding hasil sering kali di anggap “tidak tegas” atau “tidak kompeten.” Ironisnya, ketika lulusan sistem ini terjun ke dunia kerja dan gagal beradaptasi, pendidikan juga yang disalahkan. Padahal semua orang turut andil dalam mempertahankan zona kamboja slot itu.
Anak Didik Kehilangan Daya Juang
Zona nyaman ini juga telah melumpuhkan semangat juang siswa. Mereka terbiasa di arahkan, di paksa, dan di beri jawaban. Bukan untuk mencari, meragukan, atau mengeksplorasi. Akibatnya, mereka jadi pasif, takut salah, dan tidak punya keberanian untuk menyuarakan gagasan. Setiap kali guru bertanya di kelas, hanya satu atau dua siswa yang menjawab. Sisanya diam, bukan karena tidak tahu, tapi karena takut salah di nilai.
Rasa ingin tahu yang seharusnya menjadi motor penggerak pembelajaran justru di padamkan sejak dini. Bahkan tugas-tugas sekolah pun jadi ajang menyalin jawaban dari internet atau membeli jasa pembuatan tugas. Sekolah tak lagi jadi ruang tumbuh, tapi ladang formalitas. Di sinilah pendidikan kita benar-benar kehilangan jiwanya.
Menuntut Revolusi, Bukan Reformasi
Cukuplah bermain di batas permukaan. Sudah waktunya sistem pendidikan Indonesia di retas habis-habisan. Ini bukan soal menambahkan satu mata pelajaran baru atau mengubah format ujian nasional. Ini soal membongkar cara berpikir kita tentang apa itu belajar, apa itu sukses, dan bagaimana mencetak manusia seutuhnya, bukan sekadar lulusan angka.
Kita perlu pendidikan yang menantang, yang membuat anak-anak berkeringat berpikir, berdiskusi, bertanya, dan mencoba. Bukan sistem steril yang hanya memproduksi lulusan dengan nilai tinggi tapi kosong makna. Jika zona nyaman ini tidak segera di lepaskan, maka yang sedang kita bangun bukan masa depan, melainkan kehancuran slot777.