100 Siswa Masuk Sekolah – Di tengah hiruk-pikuk dunia pendidikan nasional yang kerap tersandera kurikulum kaku dan ujian berjenjang, Lampung mencatat sejarah baru. Sebanyak 100 siswa tercatat resmi menjadi angkatan perdana di Sekolah Rakyat, sebuah institusi pendidikan non-formal yang berdiri sebagai kritik keras terhadap sistem sekolah negeri dan swasta yang dinilai gagal menjangkau semua kalangan.
Sekolah Rakyat ini tak sekadar menawarkan ruang belajar tanpa seragam. Ia hadir membawa semangat akar rumput: pendidikan untuk semua, tanpa diskriminasi ekonomi. Di sinilah, anak-anak buruh tani, nelayan, hingga pedagang asongan duduk berdampingan, belajar dalam suasana bebas tekanan.
Pendidikan dari, oleh, dan untuk rakyat
Sekolah Rakyat yang berdiri di salah satu sudut Kabupaten Pringsewu, Lampung, bukan produk pemerintah, apalagi investor. Ini adalah hasil gotong-royong warga dan para aktivis pendidikan yang muak melihat anak-anak putus sekolah hanya karena tak punya uang bayar SPP, beli seragam, atau ikut ujian nasional. Didirikan di sebuah bangunan sederhana semi permanen, sekolah ini berjalan dengan prinsip pendidikan kerakyatan—sebuah konsep yang menempatkan peserta didik sebagai manusia seutuhnya, bukan robot penghafal.
Proses belajarnya pun jauh dari kesan konvensional. Tidak ada bel berbunyi nyaring, tidak ada hukuman karena lupa bawa buku, dan yang paling mencolok: tidak ada rangking. Anak-anak diajak berdiskusi, bermain peran, berkebun, hingga belajar merakit benda dari barang bekas. Guru-gurunya pun bukan lulusan PPG atau sarjana pendidikan, tapi warga yang punya pengalaman dan kemauan berbagi ilmu: dari petani organik, penjahit, seniman mural, sampai mantan dosen slot resmi yang memilih turun ke desa.
100 wajah penuh harapan
Hari pertama sekolah itu bukan pemandangan biasa. Tidak ada siswa berseragam putih-merah, tak ada barisan upacara bendera. Sebaliknya, ada tawa lepas, celoteh bocah yang heran kenapa boleh bawa ayam peliharaan ke kelas, dan orang tua yang menitikkan air mata haru. Dari 100 siswa yang mendaftar, lebih dari separuhnya sebelumnya sudah putus sekolah. Sisanya adalah anak-anak usia SD-SMP yang memang tidak tertampung di sekolah formal karena berbagai kendala.
Beberapa anak bahkan berasal dari keluarga penyintas konflik agraria dan korban penggusuran. Kini mereka punya tempat aman untuk bertumbuh. Di sinilah makna pendidikan menjadi nyata: bukan tentang nilai rapor, tapi tentang keberdayaan dan kepercayaan diri.
Mengguncang narasi pendidikan arus utama
Langkah Sekolah Rakyat di Lampung tentu memantik kontroversi. Dinas Pendidikan sempat mempertanyakan legalitas operasionalnya, tapi warga bersikukuh bahwa mereka tidak sedang membangun sekolah formal, melainkan ruang belajar alternatif. Justru mereka balik bertanya: sudah berapa banyak anak Lampung yang gagal sekolah karena sistem athena gacor terlalu mahal dan memaksa?
Kritik juga datang dari kelompok konservatif yang menilai pendekatan tanpa kurikulum nasional akan menciptakan generasi bebas nilai. Namun para penggagasnya yakin, justru lewat pendidikan yang membebaskan, anak-anak akan tumbuh dengan nilai-nilai keadilan, empati, dan keberanian berpikir kritis—sesuatu yang tak diajarkan dalam LKS dan soal pilihan mahjong.
Sekolah Rakyat ini bukan sekadar ruang fisik. Ia adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang selama ini hanya berpihak pada mereka yang mampu. Di tengah perayaan pencapaian angka partisipasi sekolah nasional, muncul pertanyaan tajam: siapa yang tak ikut berpesta karena tersingkir dari slot bonus new member? Lampung kini menjawab dengan aksi nyata.